PEREMPUAN PENJAGA TELAGA
Oleh: Baiq Nita Supiana
Perempuan setengah baya itu
masih duduk lesu bersama bayi yang ada dalam gendongannya. Ia duduk di pinggiran telaga bersama angan yang entah ada di mana, sungguh tak seorang pun tahu apa yang ada di benaknya
saat ini. Beberapa
hari ini ia lebih sering terlihat di pinggiran telaga itu, bersama
bayinya yang
selalu dalam gendongan. Entah
apa yang sedang membebani pikirannya.
Seperti
halnya hari ini,
seharusnya ia berbahagia karena ini hari yang ia tunggu-tunggu. Anak sulungnya
yang telah lama tak pulang meninggalkan rumah karena pergi ke negeri seberang untuk mencoba memperbaiki nasib,
hari ini pulang. Namun,
perempuan itu masih tetap diam di tempat yang sangat
disukainya sekarang ini, ia
tak kan beranjak dari tempat itu kecuali malam telah tiba.
Ya, dipinggir telaga yang airnya cukup keruh itu.
Sorot matanya menampakkan
kesedihan yang begitu mendalam, sayu dan seperti ingin menangis namun tertahan
oleh sesuatu. Dalam diamnya di pinggir telaga itu, tiba-tiba seseorang datang menghampirinya.
“Bu,
Alid pulang. Kenapa ibu tak
ada di rumah menyambut kedatangan Alid?”. Hening, sama sekali tak ada jawaban
yang didapatkan pemuda itu. Tetap begitu, sampai malam datang dan perempuan
itu pulang namun
tetap dalam diam.
“Ya Tuhan apa yang terjadi
dengan ibu ku selama aku tak di rumah?, kutanya Ayah, tapi Ayah juga seperti
enggan memberiku jawaban.
Apa yang sesungguhnya telah terjadi?” kata pemuda itu dalam
hati pada suatu malam ketika ia belum juga tahu sesuatu yang terjadi di
keluarganya.
Maka
setelah cukup lama bungkam,
ia memutuskan untuk bertanya pada tetangga perihal yang
terjadi pada keluarganya. “Bi Inah, iya bi Inah adalah orang yang sangat dekat
dengan ibu jadi bi Inah pasti tahu apa yang terjadi dengan keluarga ku”
pikirnya yakin. Dan setelah pagi tiba ia memutuskan menemui bi Inah untuk
mencari tahu apa yang
terjadi.
Saat
pertama ia menemui bi Inah, ia tak langsung mendapat jawaban yang dicarinya. Bi
Inah tak mau menceritakannya karena berpikir itu adalah masalah keluarganya dan
menurutnya harus keluarganyalah yang menceritakan semua yang terjadi pada
keluarganya, bukan dia. Namun, Alid sudah tak memiliki keluarga lagi selain ibu
dan ayahnya yang ia tinggalkan dulu. Dan dengan sedikit memohon akhirnya Alid
bisa meyakinkan bi Inah hingga mau menceritakan semua yang terjadi padanya.
“Pada saat itu, dua hari
sebelum kepergianmu ke Malaysia, sebenarnya ayah dan ibu mu bertengkar hebat tapi tak
ada yang tahu hal itu”, kata bi Inah mulai bercerita.
“Entah apa yang mereka ributkan juga tak ada yang tahu.
Hingga suatu ketika ibu mu datang dan menceritakan semuanya pada bibi”. Alid tertunduk diam,
mencoba mencerna setiap kalimat yang diucapkan bi Inah tentang keluarganya, ia
tak ingin menyela ceritanya bi Inah.
“Ibumu
bilang waktu itu ia tahu ayahmu selingkuh dengan gadis di desa sebelah, namanya Odah,
ia adalah keponakannya pak Samsul. Kau pasti tahu perempuan itu”, bi Inah diam,
menunggu tanggapan Alid namun Alid hanya mengangguk dan kembali diam. Kemudian bi Inah
melanjutkan ceritanya.
“Ibumu waktu itu benar-benar marah pada ayah mu, bukan hanya
karena ia selingkuh tapi ketika
ibu mu meminta uang untuk diberikan kepadamu yang akan pergi, ayah mu malah
mengatakan tak punya uang
padahal ibu mu tahu kalau ayahmu baru dapat gaji saat
bekerja ikut dengan pak Erwin mengerjakan rumah di Gubuk Baru kemarin.”
“Dan
parahnya lagi, Ibumu juga tahu bahwa ayahmu menghabiskan uang untuk perempuan selingkuhannya itu sehingga
membuat ibumu sangat marah dan
akhirnya mereka
bertengkar”. Bi Inah berhenti sejenak.
”Lalu apakah hal itu yang
membuat ibu ku menjadi seperti sekarang ini bi? dan mengapa ayah begitu kejam kepada
ibu?” hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulut Alid
“ Bibi tidak berani mengatakan itu yang membuat
ibumu seperti ini, namun
mungkin memang ia. Pasalnya, ayahmu tak pernah mau berubah meski
sudah banyak orang menasehatinya. Ia terlalu dibutakan oleh perempuan itu”
Serinah,
ibunya Alid yang kini lebih menikmati hidupnya di pinggiran telaga itu memang
dikenal sangat berbakti kepada suaminya. Ia percaya bahwa setelah menikah,
surga seorang perempuan ada di telapak kaki suaminya. Maka Ia hanya bisa pasrah
ketika tahu suaminya selingkuh dan bahkan sering memukulinya. Pernah ia mencoba
bicara baik-baik pada suaminya perihal suaminya yang selingkuh itu, tapi malah
selalu dijawab dengan pukulan.
Ketika
suasana hati lelaki itu sedang baik dan sadar, ia akan diam di rumah dan
memiinta istrinya melayaninya. Dan, istrinya tak pernah dapat menolak karena ia
takut suaminya akan kembali marah dan memukuli dirinya, juga karena cinta yang
dia miliki untuk suaminya terlalu besar hingga membuatnya tak pernah mampu
menolak. Hingga suatu ketika perempuan itu mengandung dan melahirkan anak
keduanya.
Pernah
juga sebelum ia melahirkan, saat usia kandungannya memasuki usia tujuh bulan,
suaminya menendangnya hingga terpental ke tembok. Waktu itu suaminya pulang
dalam keadaan mabuk. Saat pagi datang dan dia sudah sadar dari mabuknya
semalam, dia ke dapur karena perutnya terasa lapar namun tak ada makanan yang
ditemuinya. Karena itu dia geram dan memukuli istrinya yang sedang hamil tua.
Dan perempuan itu hanya bisa menangis.
Selama
masa kehamilannya, ia tak pernah mendapatkan perhatian dari suaminya. Berbeda
ketika dia mengandung anak pertama mereka. Perhatian benar-benar ia dapatkan dari
suaminya, juga waktu itu ibu mertuanya masih hidup. Jadi perhatian tidak hanya
ia dapatkan dari suaminya, tetapi juga dari mertua yang sangat menyayanginya.
“Bu,
maafkan Alid. Selama ini ibu pasti sangat tersiksa, terlebih ibu sendiri
menghadapi Ayah. Maafkan Alid yang terlalu lama pergi.” Kata Alid mencoba
bicara pada ibunya meski ia tahu, ia tak akan dapat jawaban.
“seandainya
Alid tahu apa yang terjadi, Alid tak akan pernah pergi. Sekarang Alid janji tak
akan pernah pergi meninggalkan Ibu dan adik Alid. Alid akan menjaga ibu dari
Ayah.” Alid terus berbicara. Ia merasa puas meski ibunya tak pernah
menjawabnya. Meskipun tidak dalam keadaan yang cukup baik, namun Ia masih
sangat bersyukur menemukan ibunya masih hidup meski dengan segala penderitaan
yang dihadapinya sekarang ini.
Telaga
itu saat ini menjadi satu-satunya tempat yang paling sering dikunjungi oleh
perempuan itu setelah melahirkan anak keduanya, dan ia menjadi perempuan yang
sangat dingin. Tak ada satu orang pun yang mau dia ajak bicara. Masyarakat
sekitar mencoba memahami situasinya. Dulu mereka sudah sering mencoba membantu
dengan bicara pada suaminya namun tak pernah ada hasilnya, malah suaminya
marah-marah dan mengira istrinya bercerita kemana-mana perihal perilakunya.
“Diam
saja, tak usah ikut campur. Dia istriku dan ini bukan urusan kalian” katanya
pada suatu ketika saat ada orang yang mencoba menasehatinya. Tak pernah ada
yang berhasil.
Alid,
putra mereka tentu tak pernah tahu apa yang terjadi. Karena tak seorang pun
pernah bercerita padanya. Jika saja ia tak pulang, ia tak akan pernah tahu
bahwa ternyata ibunya sangat menderita semenjak dia pergi ke negeri seberang. Ia
mengetahui semuanya ketika sekarang ia sudah berada di rumah dan ia sangat
menyesal meninggalkan ibunya begitu lama.
Hingga
pada suatu malam yang sangat dingin dan angin di luar rumah begitu kencang,
ibunya datang menemui Alid yang sedang berbaring di kamarnya. Alid terkejut
karena setelah dua minggu ia pulang, baru malam ini ibunya menghampirinya ke
kamarnya. Seketika Alid terbangun dan tersenyum kepada ibunya.
“Ada
apa, bu?” tanya Alid ketika ibunya sudah duduk di dekatnya.
Perempuan
itu hanya memandang anaknya dan kemudian tersenyum. Alid sangat bahagia melihat
senyum itu lagi terlebih senyum itu terlihat begitu hangat. Senyum yang sangat
ia rindukan. Perempuan itu mencoba mengelus kepala anaknya, kemudian memegang
tangannya. Dan, ia menangis.
“Nak,
maafkan ibu” itulah kalimat pertama yang keluar dari bibir perempuan itu.
Alid
menggeleng sambil tersenyum dan kemudian berkata “Tidak bu, tak ada yang salah”
“kau
sudah menyaksikan semua yang terjadi di keluarga kita, kau sudah tahu bagaimana
ayahmu. Tapi satu yang ibu minta padamu, nak. Jangan kau benci ayahmu karena
walau bagaimana pun ia tetap ayahmu, dan ibu juga sangat mencintainya bagaimana
pun keadaannya” ucap perempuan itu seraya menatap anaknya hangat.
Entah
cinta apa yang dimiliki perempuan itu. benarkah bahwa cinta memang kadang tak
ada logika seperti yang sering diucapkan oleh kebanyakan orang. Tapi masih
adakah cinta tersisa ketika yang kita dapatkan hanya pengkhianatan? Entahlah.
“ibu
baik-baik saja nak, kau jangan pernah mengkhawatirkan ibu” lanjut perempuan
itu.
“baiklah,
ini sudah malam. Sudah waktunya kau istirahat dan ibu akan menemanimu hingga
kau terlelap”. Dan Alid pun tertidur.
Malam sudah larut. Dan Alid
sudah tertidur pulas. Angin
di
luar rumah semakin kencang
dan dingin semakin terasa menusuk-nusuk di tubuh. Dan di kamar lain, Serinah, Ibu Alid terlihat diam-diam
keluar rumah menggendong anaknya yang masih kecil bersama dinginnya malam yang
semakin mencekam. Entah kemana tujuannya. Ia terus berjalan menyusuri malam,
hingga ia sampai di tempat yang ditujunya, telaga berair keruh itu. Ia berdiri, tatapannya kosong, anaknya tertidur
pulas dalam gendongannya.
Tiba-tiba ia berteriak
sejadi-jadinya, tentu tak kan ada yang mendengarnya karena telaga itu berada di
tengah sawah dan jauh dari rumah-rumah warga. Kemudian ia
berjalan lagi untuk
mengumpulkan batu-batu kecil tapi bukan kerikil dan ternyata
batu-batu itu ia ikatkan ke
tubuhnya satu persatu hingga tubuhnya benar-benar terasa berat
dan penuh oleh batu-batu itu.
Anaknya tetap di gendongannya
dan dalam keadaan sudah terikat erat bersama batu-batu itu. Kemudian, secara perlahan ia
menceburkan dirinya ke telaga itu. Dan, Biuuuuuuuuuurrrrrrrr. . . suara air
telaga, dan sesaat kemudian semuanya menjadi hening.
Keesokan pagi, ketika Alid
hendak mencari Ibunya ke kamarnya ia malah terkejut tak menemukan siapa pun.
Alid mecari ke setiap sudut ruangan tapi tak ada. Hingga ia memutuskan mencari
Ibunya ke telaga yang selalu didatangi oleh ibunya. Namun, sesampainya di sana
nihil, telaga sepi karena memang telaga itu jarang didatangi orang kecuali
ibunya.
Alid benar-benar bingung ke mana lagi harus
mencari, tak banyak tempat yang ia tahu untuk mencari ibunya. Dan ayahnya malah
tak pernah kelihatan batang hidungnya setelah dihajar oleh Alid beberapa hari
yang lalu, setelah Alid tahu yang sebenarnya terjadi ia tak bisa menahan dirinya
untuk tidak menghajar lelaki hidung belang itu.
Dua hari berlalu semenjak
ibunya menghilang, Alid tak pernah di rumah. Ia mendatangi tempat yang
kemungkinan didatangi ibunya tapi tetap tidak menemukan apa-apa. Hingga ia
dipanggil oleh seorang anak kecil, dan diberitahu bahwa ada yang menemukan
ibunya. Sontak dengan cepat Alid mengikuti anak kecil tersebut. Sesampai
ditempat yang ditunjukkan anak kecil tersebut, Alid hanya diam bagai sejenak
kehilangan nyawa kemudian menangis sejadi-jadinya menyaksikan tubuh Ibu dan
adiknya yang terkulai lemah dan bengkak dalam keadaan tak bernyawa, dan
Batu-batu kecil itu masih terikat ditubuhnya.
Perempuan
itu, ibunya Alid. ditemukan
oleh seorang petani yang datang ke sawah di dekat telaga itu. Ketika itu petani tersebut hendak mencuci
kaki setelah seharian bekerja di sawah, karena kebetulan air telaga tersebut
kecil maka ia memutuskan turun, namun ketika hendak naik seperti ada sesuatu
yang menyangkut di kakinya, ia mencoba menarik kakinya namun masih tersangkut. Maka dia menarik dengan tangannya dan ia
sungguh sangat terkejut bahwa yang ia temukan adalah rambut. Ia tambah terkejut
ketika menariknya lebih kuat lagi yang ia temukan adalah tubuh seorang manusia.
Sontak ia berlari, berteriak memanggil warga untuk menyaksikan apa yang ia
temukan. Sesosok tubuh manusia yang sudah membengkak dengan batu-batu yang
terikat di tubuhnya bersama bayi masih dalam gendongannya.
Ketika
hari selasa menjelang malam,
katanya
sering terdengar suara
aneh berasal dari telaga itu. suara itu terdengar seperti suara seorang ibu sedang bermain bersama anak kecil,
kemudian tiba-tiba menagis, tertawa, menangis, menangis, dan tertawa lagi
dan begitu seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Belajarlah menghargai dari hal-hal yang kecil :D