Selasa, 31 Maret 2015

Tentang Zalfa dan Teman-temannya



Tentang Zalfa dan Teman-temannya
Oleh : Baiq Nita Supiana

Pagi itu, ketika matahari sudah terbit di ufuk timur, gadis bertubuh kecil itu masih tertidur pulas di kamar kosnya. Ia terbangun oleh suara alarm dari jam beker kesayangannya. Dengan kepala yang masih terasa pusing karena terbangun tiba-tiba, ia berjalan sempoyongan ke kamar mandi. Seandainya tadi malam ia tak mengatur alarmnya sebelum tidur, maka sudah pasti ia akan ditinggal oleh teman-temannya.
Ketika sampai di tempat teman-temannya menunggu, ternyata Zalfa adalah orang terakhir yang sampai di sana. Maka wajar saja bila teman-temannya kesal dan mengeluarkan segala caci maki mereka untuknya. Tapi tentu saja Zalfa tak akan mempedulikan hal itu. Karena ia tahu teman-temannya tak pernah serius dengan apa yang mereka ucapkan meski kenyataannya mereka memang kesal dengan sifat ngaretnya itu.
“Ayo, teman-teman kita berangkat sekarang ini sudah hampir jam 9 nanti kita kesiangan sampai sana” ucapnya tanpa wajah berdosa, padahal ia adalah orang yang membuat mereka harus menunggu berlama-lama di sana.
Maka sontak saja Doni mendaratkan jitakan di Jidatnya yang menyilaukan tanpa poni itu. Meski begitu, teman-temannya sangat menyayangi Zalfa karena ia selalu bisa menghibur teman-temannya bila sedang bersedih, dan jika mereka bepergian tanpa dia ? tentu saja semuanya akan terasa sepi tanpa tingkah dan cerita-cerita konyolnya.
Hari ini adalah hari minggu, hari di mana semua orang menikmati hari liburnya. Seperti halnya sepuluh orang bersahabat ini, hari ini mereka akan melakukan petualangan kecil-kecilan yaitu mendaki sebuah bukit yang paling ingin dituju oleh si Zalfa, gadis bertubuh kecil dan ngaret itu. Kemarin, setelah selesai kuliah mereka kumpul di meja yang berada di pojok halaman kampus  untuk merencanakan kepergian mereka hari ini. Membicarakan apa saja yang harus dibawa, siapa dibonceng oleh siapa, dan semua yang menyangkut perjalanan mereka hari ini. Dan Zalfa, karena hanya dia yang tak memiliki kendaraan di antara teman-temannya, tentu saja ia tak akan mau lepas dari boncengan Hayu, si gadis cantik bertubuh kekar yang memiliki kepribadian tak seanggun namanya, ia tomboy. Dan teman-temannya yang lain sudah memiliki boncengan masing-masing.
Sawah-sawah yang terhampar luas menyuguhkan warna hijau yang benar-benar menyegarkan mata. Gunung-gunung yang menjulang tinggi di atas bukit ini menyempurnakan indahnya pemandangan . Udara, air, pohon-pohon yang tinggi, segalanya terasa indah di tempat itu. Rasa letih, lelah yang dirasakan hingga bisa berada di puncak bukit ini, tak dirasakan lagi ketika sudah benar-benar berada di puncaknya. Segalanya seperti terbayarkan oleh pemandangan yang terbentang luas nan indah ini.
Memang, untuk mendapatkan sesuatu yang indah itu memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit untuk dapat menikmatinya. “seandainya aku memiliki kesempatan untuk tetap tinggal di tempat ini” bisik Zalfa dalam hati sembari menikmati keindahan di depannya. Dan acara pemotretan, untuk mengabadikan hari ini tak kan terlupakan oleh sepuluh sekawan ini. Semua yang mereka lakukan, semua pemandangan indah yang mereka temukan takkan lupa untuk mereka abadikan meski hanya sekedar menggunakan kamera dari Handphone mereka yang tentu hasilnya tak sebanding dengan kamera digital. Namun, semuanya tetap indah untuk mereka karena kebersamaan.
“Yu, nanti aku turun di lampu merah menuju kerumah ku itu aja ya. Sepertinya besok aku tidak masuk kuliah, aku sudah terlanjur janji pada Ibu untuk pulang dan kepergian kita hari ini aku juga belum memberitahunya, aku takut ibu marah jika aku tak pulang”, pinta Zalfa tiba-tiba kepada Hayu ketika di tengah perjalanan pulang.
“loh, kok tiba-tiba gitu Fa ? kamu ga ngasi tahu anak-anak dulu ?”, kata Hayu dengan gaya bahasa anak kota karena memang ia anak kota, berbeda dengan Zalfa yang memang berasal dari kampung yang selalu berbicara dengan bahasa yang masih terdengar baku.
“ Nanti saja Yu, waktu kita istirahat di rumahnya Yeyen” jawabnya.
 “ Ok deh kalo gitu Fa” jawab Hayu kemudian menambah laju kecepatan motornya agar cepat sampai di rumah Yeyen.
Ya, setiap mengadakan acara jalan-jalan seperti hari ini, mereka selalu memilih tempat-tempat yang dekat dengan rumah salah satu di antara mereka. Karena selain untuk mengunjungi rumah sahabat mereka, juga agar mendapatkan tempat beristirahat dan makan gratis, maklum kantong anak kuliahan. Jadi selalu senang dengan hal-hal yang berbau gratis.
Zalfa, Hayu, Doni, Yeyen, Tiya, Cicil, Yafi, Gio, Irfan, dan Tari. Iya, Mereka adalah sepuluh orang bersahabat yang menjalin persahabatan semenjak masuk di satu-satunya Universitas negeri yang katanya terbaik di pulau ini. Lombok. Dan, kebetulan mereka satu fakultas, satu jurusan, dan satu kelas. Mereka adalah orang-orang yang berasal dari daerah dan latar belakang yang berbeda-beda kecuali Tari dan Hayu  yang memang asli orang kota.
***
“Ibu, Zalfa pulang”, ucap Zalfa setiba di rumah kemudian menciumtangan ibunya.
“ Maaf Zalfa kesorean, tadi kerumah teman sebentar bu, tidak enak sudah terlanjur janji”  kata Zalfa, ia berbohong.
”Ya sudah tidak apa-apa yang penting kamu sudah di rumah nak” ucap ibunya, selalu lembut “Sekarang kamu mandi terus makan. Kamu pasti capek dan lapar” Lanjutnya.
”Ya Bu” jawab Zalfa kemudian berlalu dari hadapan ibunya. 
Malam ini terlihat mendung. Seharusnya orang-orang takut untuk keluar rumah, takut jika nanti terguyur hujan. Tapi orang-orang di kampung Zalfa semuanya keluar untuk pergi kerumah tetangga yang mau mengadakan pesta pernikahan anaknya besok, membantu mempersiapkan acara tersebut.
“Fa,kamu tidak keluar nak untuk bantu-bantu sekalian kamu lihat pengantinnya si Slamet. Cantik sekali”, kata ibunya ketika menghampiri Zalfa di kamarnya.
“Tidak ah Bu, Zalfa capek kepingin istirahat. Besok saja  Bu ya” jawabnya lesu.
 “ada Aka juga di sana, Fa. Dia pulang kemarin kata ibunya.”  Tutur ibunya Zalfa.
DEG.. “Ya Tuhan kenapa aku harus mendengar nama itu lagi, setelah sekian lama” jantungnya berdegup kencang, tiba-tiba saja begitu. “ Aku sudah berusaha melupakan semua tentangnya, memang semua salahku dulu, tapi apa yang dia lakukan padaku sekarang terlalu sakit”, Zalfa tertunduk diam. ”Namun meski begitu, tetap saja aku merindukannya, tetap saja aku ingin menemuinya. Apapun yang dia lakukan sekarang semua karena salahku. Aku terlalu menyakitinya. Lalu, haruskah aku menemuinya sekarang ?” Tanyanya pada diri sendiri, dan
“Fa, kamu ngelamun nak ?”, tanya ibunya.
“ahh, tidak bu. Mungkin Zalfa hanya capek saja. Zalfa tidur saja ya Bu”, jawab Zalfa dan segera berbaring membelakangi ibunya tanpa menunggu jawaban dari ibunya. Entah apa yang dia pikirkan sekarang ini.
***
Beberapa tahun yang lalu. Sebelum masuk kuliah Zalfa pernah menjalani suatu hubungan dengan seorang lelaki bernama Aka. Aka ketika itu sangat mencintainya, entah karena baru pertama kali pacaran atau karena memang ia benar-benar mencintai Zalfa, tulus  tanpa alasan apapun. Ia rela bertahan meski waktu itu Zalfa sempat mengkhianatinya. Zalfa berselingkuh. Dan Aka tak pernah mempermasalhkan itu, meski ia begitu sakit. Namun, hubungan mereka menjadi tidak jelas ketika Zalfa memutuskan untuk menjauh dan Aka pun memutuskan untuk pergi, mencoba menghilang dari Zalfa sejauh yang ia bisa. Melupakan segala tentang mereka. Dan, mereka berpisah tanpa kata perpisahan.
Dan hari ini takdir mempertemukan mereka kembali. Namun, keadaan mereka sudah berbeda, meski rasa rindu masih terselip di palung hati yang terdalam. Zalfa mencoba berpaling saat Aka akan menghampirinya, ia tiba-tiba kaku, kakinya terasa berat untuk digerakkan. “jangan kesini, jangan hampiri aku” batinnya. ”Kumohon jangan, aku terlalu takut untuk menemuimu”, bibirnya bergetar dan Aka sudah di depannya, ia tak mungkin untuk menghindar.
Bertemu secara tiba-tiba begini membuat mereka hanya mampu saling menatap, tak satupun yang mencoba memulai membuka suara. Hingga “Apa kabar ?” kata itu keluar secara bersamaan dan membuat mereka kembali bungkam.
“Aku baik, kamu?” Aka memilih mengalah dan membuka suara, namun tak ada jawaban.
“kamu masih seperti dulu Fa, tak pernah mau ngalah sama aku” hening, tak ada jawaban. Dan itu bukan karena Zalfa tak ingin menjawab. Tapi bibirnya kelu, ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun, meski hanya sekedar jawaban “Iya”.
“Tapi aku tetap senang bertemu kamu, meski sejujurnya aku berharap ketika kita bertemu seperti sekarang ini kamu sudah merubah sifatmu yang ini” lanjutnya.
 “Maaf, aku harus pergi ka. Dan maaf untuk semuanya” katanya dan berlalu, meninggalkan laki-laki itu dalam segala ketidak mengertiannya. Selalu begitu.
***
Malam ini langit mendung lagi, seolah ikut merasakan suasana hati gadis yang sedang menatapnya. Terduduk di teras rumah sambil melamun sampai kemudian Aka tiba-tiba datang dan membuatnya semakin terdiam.
“Aku masih ingin bicara sama kamu Fa makanya aku kesini” kata laki-laki itu ketika sudah duduk di samping Zalfa. Zalfa deg-degan, detak jantungnya kian tak berirama. Namun ia berusaha menguasai diri.
“iya tak apa. seharusnya aku juga tidak pergi begitu saja tadi siang di tempat itu. Maaf” menarik nafas,
“tapii,, “ ucapannya menggantung
“kenapa?” Tanya Aka mengejar.
“seharusnya kamu tak kesini” keduanya terdiam, hingga
“Aku masih terlalu mencintai kamu ka, meski dulu aku meninggalkanmu. Aku punya alasan mengapa aku melakukan itu, tapi kamu pergi tanpa bertanya dan tahu kenapa aku melakukan itu”, Zalfa menangis.
“dan aku benar-benar tak menyangka kamu melupakanku secepat itu ka, kamu benar-benar meninggalkanku. Bahkan, kamu punya kekasih baru” air matanya semakin tumpah, dan Aka masih terdiam
“kamu tak perlu kaget dari mana aku tahu semuanya. Karena masalahnya adalah bukan itu sekarang ka. tapi. . .”
            Tidiit. , tidiit… ada pesan masuk “kapan balik Fa ?”, SMS dari Hayu. tapi diabaikan oleh Zalfa, ia lebih memilih menyelesaikan masalah perasaan yang sudah lama membengkak di hatinya tanpa seorang pun yang tahu. Tidak ibunya, tidak sahabat-sahabatnya, Tidak juga lelaki di depannya sekarang ini. Tak seorang pun.
            “tapi,  kenapa kamu melupakanku secepat itu ?”Zalfa menangis lagi.
“boleh aku bicara Fa ? kamu terlalu banyak bicara dari tadi hingga tak ada celah untukku”, Aka tersenyum, meski senyum itu terkesan dipaksakan.
***
Hari ini cuaca panas sekali. Terik matahari sangat menyengat. Debu-debu yang dibawa beterbangan oleh angin siang ini menyapu wajah gadis itu. Ia duduk di taman kampusnya dibawah sebuah pohon besar yang entah pohon apa namanya. Menatap jauh ke depan, mencoba mengingat  pertemuannya dengan Aka. Sang mantan kekasih. Ketika pulang minggu kemarin.
Ia tak pernah menyangka akan bertemu lagi, dan mendengar sesuatu yang tak pernah ia duga dari mulut lelaki impiannya itu. Percayalah, meski dulu Zalfa pernah mengkhianati laki-laki ini namun jauh di lubuk hatinya yang terdalam ia sangat mencintainya dan berharap laki-laki ini adalah yang terakhir dalam hidupnya. Satupun tak ada yang tahu tentang hal itu.
Ketika dulu Zalfa bersi kukuh ingin kuliah di kota, maka alasannya hanya satu. Ingin pergi jauh dari segala kenangan yang akan mengingatkannya pada laki-laki itu. Karena ia percaya, jika ia tak pergi dari tempat itu, ia akan bunuh diri dengan segala perasaan yang melandanya. Ia teramat merindu pada sang kekasih yang telah meninggalkannya entah kemana. Itu memang salahnya, tapi tak seharusnya lelaki itu pergi tanpa kata. Dengan kesendirian, maka kesunyian akan menghampiri. Kemudian perasaan rindu akan semua kenangan yang teramat menyiksa dengan senang hati akan setia menemani. Dan sampai saat ini, Zalfa tak pernah memberitahu mengapa dulu ia melakukan hal yang menyakitkan itu. Selingkuh.
“Apa pun yang kamu katakan malam itu, apa pun yang kudengar darimu. Kita sudah berakhir dan  kau mencintai perempuan itu sekarang, itu kan yang kau katakan.  Tapi percayalah Ka itu takkan mengubah segalanya, takkan mengubah perasaan yang telah kusimpan rapi selama ini. Aku akan tetap menunggu. Menunggumu hingga semuanya pasti kau tercipta untuk siapa” bisik Zalfa dalam hati, mencoba menguatkan dirinya dari perasaan yang teramat menyiksanya saat ini. Ketika kemudian Doni dan Hayu menghampirinya ke bawah pohon besar itu dan mengajaknya pulang.
Di depan teman-temannya, Zalfa adalah sosok periang. Ia selalu bisa mencairkan suasana ketika sewaktu-waktu terjadi ketegangan di antara teman-temannya karena ada perbedaan pendapat. Ketika  seringkali teman-temannya dibuat kesal oleh sifat ngaretnya dan teman-temannya protes dengan segala caci maki, sekali lagi ia tak pernah menggubris hal itu. Karena ia juga tahu bahwa dia adalah seorang penunggu yang lebih handal dan tak pernah mengeluh meski kadang-kadang ia merasa bosan karena tak tahu sampai kapan ia harus menunggu.  Menunggu lelaki itu. Ia selalu membiarkan dirinya berada pada keadaan menunggu, dan tak pernah berhenti membuat teman-temannya menunggu untuk dirinya. Dirinya yang selalu ngaret.
***
Empat tahun telah berlalu, semenjak hari wisuda. Zalfa jarang bertemu dengan sahabat-sahabatnya. Terakhir mereka berkumpul dalam acara pernikahannya Cicil dan Irfan yang kini sudah merasakan menjadi orang tua. Akhirnya, Cicil mampu mencairkan kebekuan hati Irfan hingga sekarang mereka berakhir bahagia.
Tiya memilih melanjutkan S2 nya keluar negeri karena meski ia tak berasal dari kota, tapi ia berasal dari keluarga yang mampu dan menemukan tambatan hatinya di luar negeri. Yeyen, memilih langsung bekerja dan ia diterima di salah satu perusahaan sewa guna, dan satu lagi ia juga belum menikah. Sedangkan Doni Memilih langsung menikah dengan adik tingkat yang beda jurusan, meski pacarnya itu belum selesai kuliah. Ia takut didahului orang, katanya.
Yafi dan Gio terakhir terdengar kabarnya, mereka bekerja sama membangun sebuah usaha, yang entah usaha apa. Mungkin saja usaha roti, seperti yang dulu mereka jalani semasa masih kuliah. Dan Hayu si gadis bertubuh kekar itu ternyata juga sudah menemukan calon belahan jiwanya dan sebentar lagi akan menikah, katanya. Dan terakhir si Tari, gadis yang memiliki banyak misteri dalam hidupnya tak pernah lagi terdengar kabar tentangnya.
Sedangkan Zalfa, jangan ditanya. Tentu saja ia masih menunggu sesuatu yang tak pasti. Menunggu laki-laki itu tentu saja. Namun setidaknya ia dapat mewujudkan mimpinya, memiliki tempat persewaan buku. Tempat ia memajang novel-novel favoritnya dan membiarkan para pecinta novel menikmati novel-novel yang ia pajangkan. Mimpi ini dulu ia rancang bersama Tiya. Tapi, karena Tiya menemukan hidupnya di luar negeri jadi Zalfa menjalani ini sendiri. Mungkin di sana Tiya juga mewujudkan mimpi ini. Entahlah, Siapa yang tahu, karena Tiya tak pernah berkabar.
Zalfa sedang duduk sendiri, memandang kendaraan yang lalu lalang dari dalam tokonya. Ia memilih membiarkan beberapa laki-laki yang pernah datang meminta dirinya untuk mencoba membuka hati bagi mereka tetap menunggunya. Dan sampai akhir ia masih membiarkan dirinya berada dalam keadaan menunggu dan ditunggu.  Ketika ia bingung tak tahu harus apa, tangannya berakhir pada selembar kertas dan mengambil polpen. Kemudian memilih menulis untuk menghapus rasa bosan hari ini. Apa saja, yang penting ia menulis. Dan jari jemarinya, meliuk-liuk di atas kertas itu.
“Adakah kau ingat ketika wajah mu memerah karena malu ?
Mengutarakan cinta dengan suara parau karena tersekat ragu
Aku senyum malu-malu jika mengingat waktu itu
Kau tertunduk diam, menunggu jawabku
Dan wajah itu  semakin bersemu merah ketika kukatakan Iya
Kau bahagia, tentu saja
Namun akhirnya kau memilih pergi karena salahku
Tapi kau tahu, rasa itu tak pernah berlalu
Selalu untukmu          
Dan itu pernah kukatakan
ketika tak sengaja kita bertemu pada malam yang sendu
Sampai kini aku tetap memilih untuk menunggu
Hingga waktu menjawab kau untukku atau bukan”
                                                           
                                                                                                Mataram, 11 Juni 2014



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Belajarlah menghargai dari hal-hal yang kecil :D